JIka ada yang tidak berkenan mohon dikoreksi
Fiqh Thaharah Pada dasarnya, thaharah (bersuci) tidak terlepas dari air yang digunakan untuk bersuci dan kotoran (dalam hal ini najis) yang ingin dibersihkan. Oleh karena itu, artikel ini memaparkan secara sederhana mengenai hukum air, macam-macam najis, bagaimana cara membersihkan najis, dan bagaimana adab-adab buang hajat. Semoga bermanfaat.
Hukum AirEmpat macam air itu adalah:
1. Air Muthlaq, seperti air hujan, air sungai, air laut; hukumnya suci dan mensucikan
2. Air Musta’mal, yaitu air yang lepas dari anggota tubuh orang yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak
mengenai benda najis; hukumnya suci seperti yang disepakati para ulama, dan tidak mensucikan menurut
jumhurul ulama
3. Air yang bercampur benda suci, seperti sabun dan cuka, selama percampuran itu sedikit tidak mengubah
nama air, maka hukumnya masih suci mensucikan, menurut Madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan
menurut Imam Syafi’i dan Malik.
4. Air yang terkena najis, jika mengubah rasa, warna, atau aromanya, maka hukumnya najis tidak boleh
dipakai bersuci, menurut ijma’. Sedang jika tidak mengubah salah satu sifatnya, maka mensucikan,
menurut Imam Malik, baik air itu banyak atau sedikit; tidak mensuciakn menurut Madzhab Hanafi;
mensucikan menurut Madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua kulah, yang diperkirakan sebanyak volume
tempat yang berukuran 60 cm3.
Su’r (sisa) yaitu air yang tersisa di tempat minum setelah diminum:1. Sisa anak Adam (manusia) hukumnya suci, meskipun ia seorang kafir, junub, atau haidh.
2. Sisa kucing dan hewan yang halal dagingnya, hukumnya suci.
3. Sisa keledai dan binatang buas, juga burung, hukumnya suci menurut madzhab Hanafi.
4. Sedangkan sisa anjing dan babi, hukumnya najis menurut seluruh ulama